By: Adrie Soetopo (Skolari Coach) 
 
BTS Ultra adalah race terakhir yang saya ikuti di 2019, sebelumnya di BTS Ultra 2018 mencicipi jarak 30K.Tahun ini race trail running yang sudah saya ikuti ada 4, jadi rasanya total 5 race setahun dengan BTS Ultra sudah cukup.
 
Berbekal pengalaman di 2018,dan berbagai input tentang medan dan trek di atas 30K di BTS, saya sudah membuat persiapan yang dimulai dari race2 sebelumnya. Terakhir race yang saya ikuti adalah BandungUltra 60K di awal September. Di sana saya membuat scenario selogis mungkin untuk bisa finish cukup sebelum COT 18 jam, sama dengan COT di BTS Ultra 70K.
 
Setelah Bandung Ultra, sisa sekitar 7 minggu saya pakai berlatih lebih banyak pada strength & endurance di low heart rate sambil mengevaluasi terus progress cidera lama di lutut saya yang belum 100% sembuh. Diet (pola makan) pun saya beri perhatian lebih sambil menambah asupan2 supplement. 
 
Satu hal yang saya akui susah, adalah mengatur jumlah jam tidur agar bisa lebih dari 6 jam minimal sehari.
 
Jumat 1 Nov sekitar pk. 11:00 kami tiba di Hotel Lava View, Bromo utk pengurusan RPC. Para SkolaristDhimas Prayoga, Budiman Hartanu, dan Sigrit Rahayu akan mengambil 30K, saya hanya sendiri nanti di 70K. 
 
Berada pada elevasi sekitar 2200 mdpl, hotel ini adalah venue start dan finish BTS sejak bertahun- tahun sebelumnya. Kami disambut mendung, udara dingin, kabut tebal disertai gerimis sesekali, dan internasional atmosfer karena banyaknya peserta dari luar negeri. Sebelumnya kami sudah cek ramalan cuaca, dan memang benar dari Kamis 31 Oktober hingga Minggu 3 November diramalkan cuaca akan
tidak bersahabat.
 
Selain soal cuaca, dari pagi kami sudah mendengar adanya perubahan rute untuk jarak 70K, 102K, dan 170K,dan pada race briefing pk. 14:00 perubahan rute ini diumumkan resmi, kurang dari 12 jam sebelum start….luar biasa!! 
 
Beberapa cek point ikon BTS seperti danau Ranu Kumbolo,padang savanna Ayak-Ayak, dan kawah Bromo tidak dapat dilalui, sebagai gantinya peserta harus mendaki sekitar 2 Km ‘tanjakan setan’ B29 hingga 3 kali!! 
 
Berbagai tanggapan, pertanyaan dan reaksi peserta menyertai race briefing yang hot kali ini.Perubahan ini disebabkan oleh larangan dari Taman Nasional BTS karena musim kering dan kebakaran hutanyang menyebabkan tanah mudah longsor.
 
Banyak yang menyesalkan karena perubahan rute terlihat tidak disiapkan secara matang.  Mendaki B29 berkali-kali bukan suatu hal yang mengasyikan. Kadung basah sudah hadir di lokasi race akhirnya semua menerima keputusan panitia ini. Saya pribadi sebenarnya kecewa karena lokasi-lokasi yang dibatalkan itu ‘Semeru banget’ saking indahnya dan gak semua orang bisa ke sana.
 
Setelah makan malam pk 19:00 dan semua persiapan beres saya tidur pk 21:00. 190 peserta 102K dan 170K start tepat pk 00:00 dengan suhu 8 derajat Celcius, kabut dan gerimis tetap konsisten menemani;
 
Sabtu 2 November pk 01:00 tepat bendara start dikibarkan untuk 285 peserta 70K…jumlah peserta start yang menurun drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya.
 
Selepas start cuaca terasa semakin buruk...suhu 4°C berkabut tebal dan gerimis gak kunjung berhenti menemani kami. Jarak pandang jadi masalah besar karena memakai head lamp untuk membantu penglihatan tidak banyak menolong. Cahayanya menyebar terkena pantulan kabut sehingga susah melihat kontur permukaan tanah...hanya warna coklat di jalan setapak yang terlihat, tidak kelihatan apakah ada lubang, miring atau rata. Kaki kiri saya saat berlari di turunan sempat salah injak tanah karena kontur tidak kelihatan, kejeblos tidak jatuh tapi lutut kiri terasa ketarik, dari situ mulai terasa tidak enak. Ankle juga mengalami hal sama, hampir terceklik beberapa kali tapi untungnya tidak terjadi. Dari situ akhirnya saya memutuskan untuk lebih banyak power walk dan easy jogging. 
 
Pertimbangan heart rate juga membuat saya menahan diri. HR saya sempat mencapai 167 bpm dan susah sekali untuk kembali ke area 130an bpm. Saya sadar ini karena aklitimasi yang terlalu singkat, ketinggian area, kurang tidur, dan suasana race yang meningkatkan adrenaline. Saya harus menahan diri untuk survive hingga 18 jam.
 
Sekitar Km3 sebelum turun ke Pasir Berbisik menuju B29 terdengar para peserta yang di depan berdebat soal rute yang menurut mereka tidak seperti di GPX, alias nyasar!! Dan ternyata memang benar, banyak peserta di depan yang nyasar cukup jauh hingga 2-5 Km, bahkan ada peserta 102K yang ikut nyasar bersama kami. Ini disebabkan karena jarak pandang yang buruk tadi sehingga mereka yang di depan tidak melihat marka arah turun menuju Pasir Berbisik tapi berbelok ke kanan terus menyusur punggungan.
 
Dari Pasir Berbisik menuju kaki tanjakan B29 semua peserta menambah pace karena tidak ingin ngantri saat mendaki tanjakan maut ini. Saya menahan diri dengan pace saya berdasar HR yang mulai bisa dikendalikan walaupun belum bisa di level 130 bpm. Dealing dengan tanjakan maut seperti B29 ini bukan soal siapa di depan duluan, tapi seberapa konsisten untuk terus bergerak maju di kemiringan yang extrem. 
 
Kenyataannya memang terjadi karena banyak dari peserta di depan akhirnya tersusul karena kehabisan tenaga saat mereka harus dealing dengan tantangan utama tanjakan, sudut kemiringan dan elevasi. Hal ini yang membuat waktu jadi molor karena menimbulkan ‘kemacetan’. Hujan gerimis dan kabut menemani kami mengarungi 2 Km kemiringan tanjakan B29…perlahan dan pasti. Sesekali saya menengok ke bawah…sinar headlamp peserta membentuk jalur zig zag yang memanjang jauh ke bawah, bahkan ada yang terlihat masih di area Pasir Berbisik. Demikian juga peserta
yang di atas saya zig zag berbaris mengarah ke puncak B29. Dari sinar lampu zig zag ini saya menyimpulkan berada in the middle of the pack. Selama merayap ini saya mencoba disiplin dengan minum dan makan Magicbite sesuai program di jam Garmin saya, tiap 20’ minum, tiap 30’ makan 1 Magicbite!
 
Mencapai WS di puncak B29 dalam 2 jam 38 menit, total 8.3Km dari start diiringi hujan yang makin deras dan dingin menusuk. ‘Masih masuk dalam range waktu’ kataku dalam hati. Tidak ada yang istimewa di WS ini, hanya botol Aqua 600ml, no hot tea or coffee or snack refreshment. Setelah mengisi air dan makan beberapa Magicbite saya melanjutkan lari menuju WS berikut sekitar 10 Km dari puncak B29, desa Ranu Pane. Perkiraan saya jarak ini akan saya tempuh dalam max 2 jam karena kontur menuju ke Ranu Pane lebih banyak turunan. Jadi harusnya maximal sekitar pk 06:00 pagi saya masuk WS Ranu Pane.
 
Sepanjang hampir 11 Km menuju Ranu Pane 80% waktu saya dihabiskan dengan solo run (tidak ketemu peserta lain) dalam hujan dan kabut tebal. Jarak pandang yang terbatas benar-benar menyulitkan. Karena sendirian otak harus berpikir gimana cara melangkah di kontur tanah yang tidak jelas, kalau masih ada orang di depan bisa nyontek langkah mereka, beda kalau sendirian. Beberapa kali saya terperosok tapi untungnya tidak ada yang fatal walaupun efeknya buat lutut saya terutama yang kiri mulai terasa semakin tidak nyaman. Ditemani suara nafas, kabut, hujan, udara dingin menusuk saya jalan terus…rasa kantuk menyerang dilawan dengan bersenandung, bicara sendiri atau berdoa. 
 
Buat saya satu moment penting pada ultra trail adalah ME TIME seperti ini. Melihat kembali semua ke belakang apa yang telah dilalui dalam hidup selalu membuat saya tak hentinya bersyukur, apalagi mendengar azan subuh di kejauhan & melihat semburat lembayung pagi sang fajar…ucapku dalam doasingkat ’Terima kasih Tuhan aku masih Kau beri kesehatan di usia segini dan menikmati semua ini.Temani aku terus untuk tahun2 berikut yang akan Kau berikan’.
 
Perjalanan sampai menuju Ranu Pane akhirnya mundur 1 jam karena lutut saya semakin tidak nyaman terutama di turunan. Strategi pasti di trail running race adalah: waktu akan tersita saat menghadapi tanjakan, bayar lunas di jalan datar dan turunan. Setelah mencoba beberapa Km berlari di turunan dan kondisi lutut semakin tidak nyaman saya akhirnya tidak berani untuk push. Power walk solusinya walau kadang harus saya perlambat juga. Hampir pk. 07:00 saya masuk WS Ranu Pane, total sekitar 19 Km sudah saya tempuh dalam 6 jam…’Ini lambat’ kata saya dalam hati. Tidak ada yang istimewa di WS ini…Aqua gallon, minuman isotonic, pisang rebus yang sudah dingin, no hot tea atau hot coffee apalagi physiotherapist utk cek lutut saya. Hujan sudah berhenti sejak sekitar jam 06:00 tetapi mendung tetap menggelayut disertai kabut tipis, tidak ada sinar mentari.
 
WS berikut desa Ngadas, sekitar 10 Km dari Ranu Pane. Kali ini elevasi lebih banyak tanjakan daripada turunan. Segera refill dan saya lanjut ke Ngadas…1 Km setelah WS jalan mulai menanjak. Batin saya berperang antara akan tetap terus atau stop, alias memutuskan DNF (Do Not Finish) di Ngadas nanti. Saya coba lari kecil di tanjakan, lutut terasa tidak nyaman…OK akhirnya saya putuskan untuk power walk; trekking pole banyak membantu saya. ‘Keep positive bro…just keep moving’ kataku dalam hati. Jalan menuju Ngadas melewati kebon-kebon penduduk dan hutan di perbukitan yang banyak hangus karena kebakaran…bau sengit debu dan arang masih tercium. Ada 1 sektor yang disebut Turunan Pipa dimana turunan dan tanjakannya extrem. Melalui sektor ini saya merasakan sakit yang luar biasa di lutut kiri saya karena harus melawan gravitasi dan menopang 65kg berat tubuh ini, seorang peserta dari Malaysia memberikan pil pain killer supaya bisa meneruskan lewat sector ini. Hampir 1 jam saya dealing dengan tanjakan dan turunan yang tidak sampai 1 Km ini.
 
Akhirnya setelah melewati sektor Turunan Pipa, sekitar 25 Km telah lewat, total 8 jam lebih sejak start. Saya hitung waktu dan elevasi medan yg belum saya lewati…gak mungkin kekejar 70K dalam 18 jam. Setidaknya 9 jam harus 40K supaya lunas under COT. Lutut kiri makin gak enak dipakai, I must save my future days…race2 berikut di depan, latihan bersama Skolari, program2 sharing dan latihan dengan Skolari nanti lebih penting daripada sekedar finish di race ini! Saya harus hadir di sana! Saya putuskan
DNF!!
 
Selama ikut trail running race saya belum pernah DNF, this is my 1st time ever. Kalo lwt COT sih sdh pernah...over COT pernah tapi tetap selesai racenya. Jadi memutuskan utk DNF berat banget rasanya, mind/logic vs emotion tapi memang logic di atas segalanya kali ini. Cuaca, kondisi fisik, medan, elevasi yg hrs ditempuh, timing vs COT...saya terlalu egois jika memutuskan emosi saya yang menang.
 
BTS Ultra 2019 saya sudah memenangkan bukan sebuah lomba, tapi sebuah pertempuran dengan
kepala tegak…terima kasih Tuhan.
 
Trail running memang perlu dealing banyak hal selain kondisi fisik, mental, teknikal, dan terutamacuaca. Bromo tahun-tahun lalu di waktu dan event yang sama didukung cuaca bagus, tahun ini berubah180°. Race puluhan Km, alam kasih kondisi yang extreme yang pastinya benar2 drains energy dan mental.Bagi saya mereka yang sudah berdiri di garis start dan memulai lomba mereka berapapun jaraknya,apapun hasilnya sudah melewati limit mereka. Even bad weather couldn’t kill their encouragement, Isaw many brave souls with smiles, laugh, cheering, and support each other.
I saw it too at all Skolarist who took 30K on Sunday, 3 November…proud of you Dhimas, Sigrit, Budiman. Kalian luar biasa!! Bangga bisa bersama kalian kali ini…deg2an nungguin di garis finish, elu semua pasti tahu betapa leganya gue saat kita berfoto berempat di garis finish dan kirim foto tsb di grup Skolari utk kasih lihat we are in one piece and have won this battle.

Sampai ketemu di latihan2 dan race berikut!! Stay blessed & healthy…Skolari!!